Jumat, 05 April 2013

DEMA hadiri LKSA



Korban Kekerasan Seksual Anak Perlu Penanganan Cepat

Jurna.com MINIMNYA ketersediaan akses layanan medis dan psikologis bagi korban kekerasan seksual anak menyebabkan korban kerap tak terselamatkan. Akibatnya, korban cenderung diam dan mengalami tindakan kekerasan berulang.

Tingginya angka kekerasan seksual pada anak di Indonesia dari tahun ke tahun menimbulkan keprihatinan semua pihak termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal tersebut mendorong LPSK gencar sosialisasikan keberadaannya di daerah-daerah yang berpotensi tinggi terjadi kekerasan seksual terhadap anak, salah satunya yaitu wilayah Cirebon, Jawa Barat.

"Informasi keberadaan dan jaminan perlindungan yang diberikan LPSK, diharapkan mampu menjangkau pemenuhan hak korban, terutama di daerah," kata Ketua LPSK, Abdul Haris, dalam siaran persnya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, Rabu (3/4).

Acara yang dihadiri sekitar 250 orang undangan ini termsuk dua delegasi DEMA STAIMA  Farhan dan Ade, menghadirkan narasumber dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Polda Jawa Barat, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat dan perwakilan dari Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Cirebon. "Wilayah Cirebon, sebagai daerah pesisir utara berpotensi tinggi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak,. Sehingga, sosialisasi LPSK sangat strategis di wilayah ini," ujar Haris.

Selain itu, ia juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap proses penegakan hukum yang cenderung tidak berpihak terhadap korban. "Vonis hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual kerap ringan dan bahkan kerap tidak diproses hukum karena minimnya alat bukti dan lemahnya aturan perundang-undangan kita untuk menjerat pelaku kekerasan seksual pada anak," katanya.

Haris meyakini, kasus kekerasan seksual masih banyak terjadi di Indonesia, terutama di daerah pesisir seperti di Cirebon, namun tak terungkap ke permukaan. "Sulitnya pengungkapan kasus kekerasan seksual pada anak ini, disinyalir karena pelaku kekerasan didominasi orang terdekat korban, seperti bapak kandung, tetangga, majikan, paman dan lain sebagainya, sehingga korban takut mengungkapkannya dan melapor ke aparat penegak hukum," ujarnya.

Acara yang mengambil tema "2013, Tahun Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak" ini dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian semua pihak untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak secara cepat.

"Penanganan cepat terhadap korban kekerasan seksual, dianggap ampuh untuk meminimalisir terjadinya reviktimisasi (menjadi korban kedua kalinya) dan potensi ancaman oleh pelaku," kata Haris.

Untuk itu, LPSK kini menyediakan sejumlah layanan perlindungan seperti yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bentuk layanan tersebut berupa perlindungan fisik (pengamanan, pengawalan dan penempatan di rumah aman), pemulihan medis psikologis, dan pendampingan terhadap korban dalam proses hukum.

"Pelayanan diberikan secara cuma-cuma, karena semua ditanggung oleh APBN, sehingga diharapkan korban dan aparat penegak hukum di daerah dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin," ujarnya.

Melalui kegiatan sosialisasi ini, Haris berharap tercipta sinergitas antara LPSK dengan aparat penegak hukum di daerah dan aparat pemerintah lainnya seperti P2TP2A di kabupaten atau propinsi.

"Program one stop service untuk korban kekerasan seksual anak perlu digagas, untuk memudahkan akses keadilan dan jaminan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual terutama di daerah," katanya

“LPSK: Korban Kekerasan Seksual Anak Perlu Penanganan Cepat”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar